Wednesday, 22 June 2011

Cerita Kecil Tentang Jakarta.

Selamat-sore-jakarta

 pict by arnie.


"Kamu yakin mau ikutan pindah juga ke Jakarta?"
"Entahlah, tante. Aku tidak mau meninggalkan kota ini, tetapi sungguh mati, sepertinya Jakarta itu menyenangkan sekali! Gedung-gedung besar, pusat dari segala hiburan, tempat jajan, orang-orang berpendidikan, dan pastinya punya banyak stok cowok ganteng untuk dijadikan pacar!"
"Jakarta itu angkuh. Tidak ada yang bisa kamu percaya selain diri kamu sendiri disana. Selalu jaga diri."



***



Dialog tujuh tahun lalu, menjelang kepindahan saya dan keluarga ke kota ini, seorang keluarga dari fihak mama pernah berpesan begitu kepada saya. Sebagai anak daerah yang baru tumbuh tetek dan masih belum tau apa-apa, kota ini sungguh teramat menggoda. Semua kebahagiaan dan kemewahan dan keceriaan dan kekecean serta kebebasan anak baru gede yang masih sekolah kayak saya itu hanya ada di ibukota. Diiklankan berulang-ulang oleh layar televisi saya. Baik sinetron orangtua dan remaja, infotainment dan acara berita, sampe di reklame dan pariwara seakan berkata, "Elo tuh belom kece kalo belom datengin gue langsung!". Mungkin kedengeran sedikit aneh, tapi ini nyata. Beberapa tahun lalu, bagi anak-anak seumuran di kampung saya, Keren itu kalo kamu punya foto berlatar belakang Monas, pernah nginjekin kaki di Mal Taman Anggrek, dan ikutan nawar sama nyokap di ITC Mangga Dua. Ini beneran, enggak bohong. Belom lagi harga tiket pesawat PP Manado-Jakarta-Manado yang bisa buat duit jajan dua bulan. Pokoknya, buat anak bocah berumur 13 tahun yang baru sekali berlibur ke ibukota kaya saya ginik, pernah ke Jakarta itu prestise luar biasa yang bisa bikin hidung elo kembang-kempis karena bangga.



Jadi wajar aja dong ya, saya gundah gulana ketika akhirnya papa bilang kalau beliau dipindah-tugaskan oleh kantornya. "Gilek. Pernah liburan aja kerennya udah bukan main, apalagi sekarang disuruh pindah dan tinggal disana?! Wah, bisa jadi bahan omongan satu sekolahan nik gua! Asik asik!" begitulah fikiran licik dan menjijikan dan enggak penting dan sumpah saya ngingetnya aja udah engga banget. Hoek. Singkat karakter tulisan, setelah sempat ditinggal sendirian di Manado selama hampir sebulan lebih kurang, akhirnya saya memutuskan untuk ikut pindah ke Jakarta. Menyusul mama, papa, Sari dan Cakra yang sudah duluan tinggal di kota tua yang manja ini. Mengenai kepindahan saya ini akan saya ceritakan (kembali) di lain waktu.



Dan seperti dugaan saya sebelumnya, setelah pertama kali menjadi resmi warga Jakarta, saya langsung jatuh cinta. Kota ini luarbiasa. Bahasa-bahasa yang berbeda. Orang-orang yang beragam jenisnya, gedung-gedung pencakar langit, lalu-lintas yang ramai dan sibuk dimana-mana, kebisingan yang terdengar bagaikan harmoni lagu di telinga saya. Semua ini tentu saja tidak akan saya temukan di kampung halaman saya.



Dan seperti dugaan tante saya sebelumnya juga, Jakarta ini angkuh. Ternyata tinggal di kota ini tidak semenyenangkan seperti yang pernah saya duga. Dimulai dengan susahnya saya mencari sekolah yang mau menerima murid pindahan dari kampung seperti saya ini. Saya sempat terlantar selama beberapa minggu, menunggu panggilan dari sekolah yang percaya saya adalah murid pindahan resmi dan ada surat langsung dari Dinas Pendidikan Nasional daerah kampung saya, bukan murid asli sini yang nyamar supaya bisa masuk di sekolah negeri unggulan tanpa harus susah payah ikutan tes masuknya. Belum lagi saya mulai mengalami kendala bahasa. Pertemanan. Pandangan sinis orang-orang sirik. Selera humor yang berbeda. Cara berfikir dan bergaya. 



Ketika saya mulai masuk kuliah, pergaulan, pengetahuan, dan pemikiran saya tentang kota ini semakin bertambah. Dan pandangan saya tentang Jakarta juga ikut berubah. Jakarta yang dahulu hanya saya puja, sekarang saya iringi pula dengan hujat dan cela. Dan semakin pula saya membenci hubungan dengan kota yang sesungguhnya tidak bersalah ini. Saya mulai mengutuki jalanan yang selalu macet, rumah saya yang ikutan banjir ketika musim hujan datang, pencopet-pencopet sialan, teman-teman yang licik dan mau enaknya saja, duit jajan yang pas-pasan, sampah dimana-mana, asap knalpot dan para eksibisionis babik, pengamen preman, pengemis yang punya mobil sedan. 




Saya makin mengumpat kepada jalanan yang terlewat sehingga saya harus memutar jauh sekali, namun tersenyum senang ketika berhasil menemukan jalan tikus yang bisa memangkas 
waktu dengan singkat.


Saya selalu teriak bangsat kepada supir bus yang sewenang-wenang berfikir bak penguasa jalanan dan para supir kopaja yang seenak tititnya berhenti dimana saja, juga tak lupa selalu berterima kasih ketika saya turun tepat di depan tempat tujuan saya.


Saya benci harus memarkir mobil saya di jalan tol ketika ada pejabat yang lewat, dan saya pura-pura benci memarkir mobil saya di pinggir jalan karena tidak ingin repot mencari tempat yang layak.


Saya benci kepada ratusan motor yang menunggu melewati jalur zebra cross saat berhenti di lampu merah, tetapi karena saya juga sering berbuat hal yang sama, saya mengalihkan kebencian saya kepada para polisi yang mengeluarkan SIM untuk mereka dan saya.


Saya benci kepada pedagang kaki lima yang mencuri trotoar pejalan kaki saya, dan berhenti sebentar pas sepintas melihat crocs KW 9 yang mirip banget sama aslinya lagi gelantungan disana.


Saya benci kepada jalanan rusak, dan mulai menyalahkan truk dan mobil berbadan besar. Lalu saya ingat saya sering pura-pura bayar pajak.


Saya benci kepada mall-mall besar yang sembarangan bikin diskon, terutama kalo saya lagi kere dan tidak ada lagi simpanan duit.


Saya benci Dunia Fantasi yang selalu penuh di hari libur dan diskon besar-besaran di bulan ramadan, makanya saya bela-belain kesana pas hari kerja sampe bolos kuliah.


Saya benci menunggu armada bus TransJakarta yang tidak kunjung datang walaupun saya sudah berdiri berjam-jam di haltenya. Saya balas dendam aja dengan masukin mobil saya ke jalurnya.


Saya benci ketika harus selalu waspada terhadap orang baru. Tapi saya senang bertemu orang baru.


Saya benci lewat Kuningan ketika hari kerja. Paling senang ke daerah selatan kalo malem minggu datang.




Dan saya mulai membenci diri saya yang semakin membenci Jakarta, terutama karena saya selalu berfikir untuk pergi jauh-jauh dari sini, tetapi selalu tidak pernah  benar-benar bisa pergi jauh-jauh meninggalkan kota ini. Udah ngalah-ngalahin orang pacaran deh pokoknya!



Kota tua yang semakin manja ini memang angkuh. Segalanya tersedia disini, segalanya ada. Mulai dari orang paling susah sampe terkaya di jagad raya. Jakarta menjanjikan segalanya; hiruk-pikuknya, ekonomi yang menjanjikan, keunikan manusianya, hingar bingar kehidupan sosial yang luarbiasa, tempat yang tepat bagi mereka -dan juga saya yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi nyata. Jakarta sekarang semakin sesak dan penuh. Tentu saja dengan kedatangan mereka dan saya, para pendatang dan orang-orang daerah, yang tergoda untuk mengadu nasibnya di Jakarta menjadikan kota ini semakin unik dan menarik. 



Tujuh tahun bukan waktu yang lama, namun tidak juga terlalu singkat.



dan sampai hari ini, Jakarta masih tetap saja mempesona..

No comments:

Post a Comment